Renungan

Mencoba untuk tidak curang

Sebagian mereka mulai berani menyebut “kaplingan” ini sebagai animal farm. Yang namanya dosa sudah tidak dianggap ada, bukan dianggap tidak ada (karena serdos-kah: SERah-serahan DOSa). Jelas sekali Rasullullah (maaf terpaksa mengikutsertakan Rasul, karena mereka masih berjuluk ahli ibadah) menyabdakan kalau laku tidak adil setara dengan perbuatan curang. Dalam berbagai teks ceramah agama, hanya SETAN yang diperbolehkan berlaku demikian. Sebentar tadi beterbangan lagi segerombol gossip bagai robongan kelelawar yang melintasi senja menjelang maghrib: peserta didik yang bernikai C diwajibkan (bukan diberi kesempatan) mengulang dari kegiatan kuliah, praktikum, hingga ujian. Tidak jelas “kebenarannya”, namun saya jelas mendengar dengung suara mereka yang merasa dizalimi. Lepas ashar tadi, suara-suara itu diterbangkan angin sampai akhirnya menabrak tembok di bekas kamar mayat tahun tujuh-puluhan. Sumber suara itu menjauh begitu saya mencoba mengklarifikasi (ini lebih baik ketimbang “masturbasi”) . Perintah mengulang untuk mereka bernilai C bukan main-main, karena disepongangkan pula ancaman bagi yang tidak berniat mengulang: tidak akan dilantik, bro. Bayang kan dengan nilai C, orang mesti mengulang seluruh kegiatan belajar, jika tidak, ya, itu tadi, setop sebelum sarjana. Bayangkan, bro, bayangkan. Setahu saya, nilai C boleh diperbaiki dengan hanya mengikuti ujian, dan itu pun kalau yang bersangkutan berkehendak. Jika tidak, ya, lewat saja: sudah lulus kan?! (mohon diklarifikasi, mudah-mudahan saya tidak salah). Dasar mengubah sesuatu menjadi sesuatu, sekali lagi, wajib dicari referensinya. Sekadar mengambil contoh, kalau tidak salah sudah dibuat ketentuan kalau penyerahan (bahasa sehari-harinya mengumpulkan) nama peserta pelatikan ialah tanggal sekian. Jika kalian ingin mengubah (dimajukan atau dimundurkan, atau diterbangkan) menjadi tanggal sekian-sekian, jelaskan apa dasar perubahan itu. Salah-salah keputusan kalian (mudah-mudah baik niatnya) menuai fitnah; terlebih jika kalian dianggap (dianggap, gitu, lho) punya kepentingan atas keputusan itu. Katakan saja, (maaf, namanya saja gossip; namun jika kalian berkeberatan, jelaskan …) misalnya kalian mempunyai anak-anak yang kebetulan baru lulus satu atau dua hari sesudah tanggal keputusan pertama. Boleh saja, tapi berlaku adillah kepada yang bukan anak … Selalu saja ada kepentingan yang menyebabkan seseorang yang kebetulan diamanahi jabatan untuk itu cenderung semena-mena. Mengutip kata Machiavelli (maaf kalau salah nama) “kekuasaan cenderung korup dan semena-mena”, Nah, sebagai animal yang beragama, saya wajib mengkaunter pernyataan ini, sebisa mungkin, meski kemudian kelelahan…. Duh, tidak jelas lagi mau nulis apa; namun yang pasti jelas menulis untuk memperjelas … Tanda-tanda kebangkrutan semakin nyata. Ya, Allah, bukakanlah mata dan pikiran ”karmik”. Jika tidak juga mau sadar, laknatilah.
Allah Subhannahu Wa Ta’ala berfirman: “Harta dan anak-anak adalah perhiasaan kehidupan dunia“ (QS. Al-Kahfi:46). “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS. At-Taghaabun:15).

Standar
Renungan

Blog ini saya aktifkan lagi. Sebagian besar tulisan lama sengaja saya biarkan terserak di beberapa halam, di samping tanggapan yang “menyudutkan” saya, bahkan telah menghancurleburkan “harga diri” saya; di samping berupaya “membunuh” karakter. Saya bermaksud agar pera penulus “mengaku dosa”, karena “kita” sudah semakin tua. Saya pikir, pulsa pahala yang tersedot ke dalam “buku amal” saya sudah cukup. Maka, jika kalian, yang telah menuliskan fitnah, mau mengaku dosa (menyatakan bahwa tulisan yang kalian tulis itu “fitnah”), berarti putuslah aliran pulsa ke “handphone” akhirat saya. Jika tidak bersedia, ya, sudah: saya bahkan bersyukur. Sebab, fitnah satu orang kemudian diyakini oleh pembaca lain untuk disebarkan kelain orang. Efeknya bak bisnis MLM. Sekian dulu, salam. Seribu hari di dunia cuma satu hari di akhirat.//

Sampingan
Tulisan Ilmiah

MERAWAT SERIBU HARI EMAS: mengemas gaya hidup Sehat (Dibacakan dalam pertemuan “Early Life Nutrition”, 2 November 2013)

Seselesai pembuahan, hitungan mundur seribu hari pun dimulai. Pada titik ini, langkah emas seribu hari itu terbebankan pada wanita hamil, tempat para janin menumpang hidup. Tugas wanita menjadi “lebih berat” ketimbang sebelumnya: mereka mesti berperilaku sehat agar janin bisa tumbuh sempurna hingga kemudian meneruskan kehidupan baru sebagai bayi yang, tentu saja, diharapkan terus berlanjut sampai usia dua tahun. Dua fase kehidupan ini dipahami sebagai masa kritis untuk menumbuhkan peyakit degeneratif, pada periode kehidupan berikutnya. Gangguan perkembangan semasa janin akibat gizi salah ibu akan berakibat sebagai perubahan metabolik menetap, yang membuahkan serangkaian penyakit degeneratif di usia dewasa.

            Seribu hari kehidupan menjadi penting karena dalam rentang waktu inilah upaya pencegahan (kemungkinan) penyakit degeneratif memperoleh ruang dan waktu. Keberhasilan menyeimbangkan asupan zat gizi terbaca pada pola pertambahan berat badan ibu, masing-masing pada trimester pertama, kedua, dan ketiga; dengan catatan si ibu secara teratur menjalani ante natal care (ANC). Pertambahan berat yang tergambar tidak mengikuti pola normal (berkelebihan atau berkekurangan), menyiratkan berat janin yang juga berkelebihan atau berkekurangan: yang satu akan terlahir dengan berat badan rendah, sementara satunya lagi akan hadir di dunia boleh jadi sebagai “giant baby”.

Narasi singkat ini saya sempitkan menjadi “hanya” membahas sekelumit perilaku manusia yang, tidak salah, jika ditafsirkan sebagai penambah jumlah penderita penyakit degeneratif, setelah sekian lama menjalani hidup dengan skala fisik obes.

Paling sedikit ada tiga celah dalam lingkar kehidupan yang kemudian mengantar mereka menjadi obes. Pertama, pemilihan cara caesar sebagai jalan lahir. Kedua, keterpaksaan memilih susu formula; dan ketiga, kekeliruan dalam penentuan makanan sapihan.

 

Kelahiran caesar atau vaginal?

Idealnya, wanita yang berkeinginan hamil harus terlebih dahulu menormalkan diri. Dalam bahasa nutrisi, yang bersangkutan hendaknya berstatus gizi baik; di samping fisik telah selesai bertumbuh-kembang. Kongkritnya, si wanita telah melewati usia ginekologik, yaitu rentang waktu sepanjang 5 tahun setelah haid pertama (menarche): selama 5 tahun inilah pertumbuhan fisik tersempurnakan dan, setelah itu, wanita dinilai sudah siap menjalankan tugas reproduksi.

            Dengan kesempurnaan fisik ini, manakala seorang wanita memilih jalan lahir alami, maka tubuhnya akan menghasilkan hormon yang penting dalam proses pembentukan dan pengeluaran ASI (oxytocin dan prolactin). Sayang sekali, tanpa indikasi medis, makin banyak wanita hamil memutuskan untuk tidak melahirkan janin per vaginam. Persalinan secara caesar dipilih sekadar untuk “tampil beda”: semisal keinginan melahirkan bayi pada hari (besar) tertentu; satu keputusan yang jelas-jelas tidak memiliki penjelasan ilmiah.

            Kelahiran secara caesar jelas merugikan baik janin maupun sang ibu yang keliru memilih keputusan. Operasi caesar terbukti menyebab stress fisik dan psikis pada si ibu dan (terutama) bayi. Luka operasi membangkitkan stress, sehingga kehadiran ASI makin jauh dari harapan; di samping (juga) mustahil untuk menyegerakan “pemberian ASI” begitu janin berubah status menjadi bayi.

 

Asi atau susu formula?

Barangkali sudah tidak ada lagi manusia yang belum tahu (meski belum tentu paham) “keajaiban” asi, walauipun  faktanya tidak sedikit wanita yang mestinya tampak sibuk memberikan asi, namun terlihat santai menyelipkan dot botol susu ke dalam mulut bayi. Sebagian dari mereka yang menggunakan susu formula itu ternyata memang tidak menghasilkan asi. Inilah dampak negatif dari operasi caesar.

Tindakan operasi ini  bagaikan “upaya paksa” mengeluarkan janin melalui jalan yang bukan seharusnya, sehingga kenduri perpisahan tak sempat terselenggara di lorong vagina. Dampak negatifnya banyak, dan yang paling jelas ialah gangguan makan: susah diberi makan, atau bahkan (dalam skala kecil) makan berlebihan.

Ketiadaan ASI, apa boleh buat, memaksa orang tua memilih susu formula. Kekeliruan lanjutan muncul ketika mereka “dipaksa” untuk memilih produk apa? Informasi produk diperoleh dari iklan di media masa, atau langsung dari pabrik, atau meminjam tangan orang-orang yang dekat dengan kamar bersalin.  Dari siapa pun penjelasan diperoleh, susu formula, jelas sudah, dalam hal apa pun tidak mungkin menandingi ASI.

Puluhan keutamaan ASI sudah tertulis dalam puluhan buku teks, namun untuk  kali ini, cukup dikedepankan tiga saja. Pertama, “bayi formula” tidak memiliki kendali diri atas makanan. Penyebabnya sudah benderang: untuk memperoleh ASI, bayi dipaksa mengisap (bayi caesar tidak memiliki refleks isap); dan ia akan berhenti setelah merasa kenyang. Inilah contoh kongkrit pengendalian itu: “makan sebelum lapar, dan berhenti sebelum kenyang”. Kedua, tidak ada yang perlu “dicurigai” pada ASI, karena sudah pasti tidak mengandung materi GMO (genetically modified organism). Ketiga, tidak ada kontak fisik dan psikis antara ibu dan anak; namun dengan ASI pun tidak lagi menjamin kontak psikis itu selalu ada, karena semakin banyak para ibu memberi ASI sembari meng-update status di media sosial.

 

Penyapihan

Sejalan dengan pertambahan usia, kebutuhan akan zat gizi tak bisa lagi ditumpukan pada ASI saja (bagi peminum ASI), atau susu formula saja. Selanjutnya, bayi membutuhkan makanan yang lebih padat hingga usia satu tahun. Sumber makanan sapihan selayaknya diambil dari makanan yang biasa disantap oleh keluarga, bukan mengenalkan makanan instan, karena kebanyakan makanan fabrikan terlalu banyak mengandung lemak, gula dan garam.

Menyukai makanan yang mengandung ketiga komponen itu sudah merupakan sifat dasar manusia. Maka, tidak heran jika makanan buatan pabrik lebih cepat disukai anak ketimbang santapan “tradisional”.

Kesibukan para ibu di luar rumah menyebabkan pengasuhan anak dipercayakan pada orang lain. Perawat bayi biasanya tidak begitu peduli dengan pola asuh (termasuk pola makan) bayi: yang penting bayi tidak rewel. Maka, segala kegiatan dilangsungkan di tempat yang disukai anak. Faktanya, lokasi yang paling diminati ialah bagian muka layar televisi. Inilah muasal percontohan kegiatan sedentary sambil menyantap camilan dan belajar menikmati iklan “junk food”: setangkup kegiatan yang berpotensi mengubah (seribu hari) emas menjadi loyang.

Standar
Tulisan Ilmiah

VIGNETTE MODEL TO UROGENITAL SYSTEM
(a real good vignette)

A 20-year-old gravida 1, para 1 female presented to the ED complaining of severe right-sided flank pain that began suddenly four hours prior to arrival. Her pain was sharp and constant, radiating to the right lower abdomen with associated nausea and one episode of vomiting. She denied fevers or chills, dysuria, hematuria, constipation or diarrhea. She was currently on her normal menstrual cycle. She denied recent trauma or any personal or family history of kidney stones. She had not previously experienced similar pain.

Physical Examination
General appearance: The patient was a well-nourished, well-hydrated female in moderate discomfort.
Vital signs
Temperature 36.6◦C, pulse 96 beats/minute, blood pressure 109/79 mmHg, respirations 20 breaths/minute, oxygen saturation 98% on room air
Heent: PERRL, EOMI, oropharynx clear with moist mucous membranes.
Neck: Supple.
Cardiovascular: Regular rate and rhythm without rubs, murmurs or gallops.
Lungs: Clear to auscultation bilaterally.
Abdomen: Soft, nontender, nondistended. No costovertebral angle tenderness.
Pelvic: No discharge or bleeding, normal-sized, nontender uterus, os closed, right adnexal mass palpable with mild tenderness.
Neurologic: Nonfocal. Noncontrast CT of the pelvis from a 20-year-old female with right flank pain.

Laboratories
A clean catch urinalysis demonstrated a large amount of blood but was otherwise normal. Her creatinine was within the normal range. A urine pregnancy test was negative.
A peripheral intravenous line was placed, blood was drawn and sent for laboratory testing.

A noncontrast CT of the abdomen and pelvis was obtained.

Emergency treatment
and morphine sulfate, ketorolac, and ZofranR were administered intravenously for pain and nausea, respectively.

Task: what is your diagnosis

Key teaching points
1. Ovarian torsion is a gynecologic emergency requiring prompt diagnosis and emergency surgical treatment.
2. Torsion is the most common complication of dermoid cysts, occurring in approximately 3.5% of cases.
3. The pain of ovarian torsion is proportional to the degree of circulatory compromise; if tor-sion is complete, the pain is acute and severe, typically accompanied by nausea and vomiting.
4. On physical examination, the most consistent finding in patients with ovarian torsion is a palpable mass.
5. Abnormal flow on color Doppler sonography increases the likelihood of identifying torsi-on, but torsion may occur with incomplete vascular obstruction; therefore, evidence of vascu- lar flow does not rule out torsion with certainty.
6. Treatment of a torsed ovary with a dermoid cyst or other abnormality requires detorsion of the ovary and removal of the cyst if the ovary is viable; a nonviable ovary requires removal.

Dicussion
The diagnosis is right ovarian (adnexal) torsion due to a 6-cm dermoid cyst. The noncontrast CT scan of the abdomen and pelvis demonstrated a 6.8 cm × 5.1 cm heterogenous mass lesion with components of soft tissue, calcium and fat in the right para-midline anterior pelvis, suggestive of a dermoid cyst. The pelvic organs appeared otherwise unremarkable. The gynecology service was consulted, and the patient was taken to the OR. During laparoscopy, a 6-cm dermoid cyst was discovered, causing torsion of the right ovary.
The ovary was detorsed and the dermoid cyst was excised from the ovary. The ovary was viable, and the ovarian bed was subsequently cauterized with excellent hemostasis. The patient recovered uneventfully. Pathology identified the cyst as a mature cystic teratoma.

Ovarian torsion resulting from a dermoid cyst
A dermoid (cystic teratoma) is a benign, cystic lesion containing tissue from all three embryonic layers: endoderm, mesoderm and ectoderm. Ovarian dermoids constitute 10–15% of ovarian tumors. They tend to occur in young women during their reproductive years, although they have been reported in prepubertal and elderly patients.1 Ovarian dermoids present with discomfort, pain or pressure symptoms, or when a complication occurs. Torsion is the most common complication of dermoid cysts, occurring in approximately 3.5% of cases.
Cases of dermoid tumors with ovarian torsion presenting as appendicitis or renal colic have been described. Less than 1% of dermoid cysts are malignant. Although ovarian dermoids can be detected by ultrasound, CT or MRI, CT is the best imaging procedure for identifying cystic teratomas of the ovary.
Torsion of the uterine adnexa is a gynecologic emergency, requiring prompt diagnosis and emergency surgical treatment. It can involve the fallopian tube, the ovary or other adnexal structures. Risk factors for ovarian torsion include ovarian enlargement, adnexal masses (including tumors), pregnancy, ovulation induction, and previous pelvic surgery. The most common risk factor associated with torsion is the presence of a dermoid cyst (32%).5 Torsion may also occur in a normal ovary. Although adnexal torsion is generally viewed as uncommon, studies suggest that adnexal torsion is the fifth most common gynecological emergency, representing 2–3% of acute surgical emergencies.
Ovarian torsion results from partial or complete rotation of the ovarian pedicle on its long axis, potentially compromising venous and lymphatic drainage. If the rotation is partial or intermittent, venous and lymphatic congestion and its associated symptoms may subside quickly.6 If rotation of the ovarian pedicle is complete and prolonged, venous and arterial thrombosis may occur, resulting in adnexal infarction.
The pain is proportional to the degree of circulatory compromise from torsion. If torsion is complete, the pain is acute and severe, typically accompanied by nausea and vomiting. However, spontaneous detorsion may occur and the pain will subside. Adnexal torsion is rarely bilateral and is more common on the right side. It is more common in young women, with the greatest incidence in the 20- to 30-year age group.
Physical findings and characteristics of pain in ovarian torsion are variable. The “classic” history of ovarian torsion is theabrupt onset of colicky pain in a lower quadrant, with radiation to the flank or groin, mimicking renal colic. However, only 44% of patients diagnosed with ovarian torsion in one study had such crampy or colicky pain. Additionally, 51% of patients in the same study had radiation of pain to the flank, back or groin. Fifty-nine percent of patients had abrupt onsetof pain, whereas 43% of patients had prior episodes of this pain. The majority of patients in this study had nausea and vomiting (70%) and lower quadrant pain (90%), but these findings mimic many other causes of abdominal pain and are
not specific to ovarian torsion.
On physical examination, the most consistent finding of ovarian torsion is a palpable mass felt 50–80% of the time during pelvic examination.5 Laboratory tests should include a urine or serum β-hCG to rule out ectopic pregnancy and a urinalysis to evaluate for infection or stone. Studies have demonstrated elevated white blood cell counts in 16–38% of cases of ovarian torsion but this finding is nonspecific.6 In cases of suspected ovarian torsion, immediate ultrasound is the investigation of choice; greater than 93% of patients with torsion
will have abnormal ultrasound findings. Ultrasonographic findings depend on the duration of torsion and the degree of ovarian ischemia; the most common finding is ovarian enlargement. In the early stages of ovarian torsion, the ovar is enlarged with prominent peripheral follicles. With prolonged and complete torsion, infarction may appear as cystic, clotted areas on the ovary. Abnormal flow on color Doppler sonography increases the likelihood of identifying torsion, but torsion may occur with incomplete vascular obstruction; therefore, evidence of vascular flow does not rule out torsion with certainty.
Treatment of a torsed ovary with a dermoid cyst or other abnormality requires detorsion of the ovary and removal of the cyst if the ovary is viable; a nonviable ovary must be removed. The procedure can be done by laparoscopy or laparotomy. In the past, oophorec-tomy was considered the standard of care because of concern that untwisting of the adnexa might precipitate pulmonary embolism from a thrombosed vein. Several studies have shown that in the absence of a grossly necrotic ovary, untwisting of the adnexa can be performed and the ovary salvaged without significant risk of thromboembolism. Conversely, hemor-rhagic infarction or a gangrenous adnexal structure requires surgical removal without attempts at detorsion.

Standar