Analisis Masalah

“Bau kolusi” di jalur rotasi

Ternyata tidak mudah menjadi mahasiswa kedokteran. Meskipun memasuki gerbang dunia yang (mestinya) “putih-bersih” itu kini tidak lagi harus berdesakan lewat pintu UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri), proses pendidikan tetap saja mencemaskan dan menggemaskan. Mencemaskan karena tidak ada jaminan kalau nasib seorang mahasiswa kedokteran yang telah membayar uang pembangunan puluhan juta itu pasti berujung sebagai “dokter”: kemungkinan drop out (DO) selalu mengintai di tiap semester. Idealnya, memang, pendidikan mesti berproses demikian. Menggemaskan lantaran ada sejumlah titik pada proses itu, yang semestinya bukan pengancam, berpenampilan bagai “hantu”; dan peserta didik nyaris tidak kuasa mereduksinya, sementara para penguasa institusi hampir tidak bertindak untuk menghapusnya.

Tersebutlah kisah pada satu fakultas kedokteran: sejak dua tahun belakangan FK ini menerima mahasiswa baru lewat dua pintu masuk, yang dikenal sebagai jalur reguler dan nonreguler. Saya tak paham betul makna etimologi kedua kata itu. Yang saya ketahui ialah, bah-wa pintu masuk ke kelas nonreguler telah dibuka lebar ketika jadwal penerimaan UMPTN belum diiklankan di media. Namun demikian, namanya saja nonreguler, tiket masuk lewat pintu ini tentu saja mesti ditebus dengan tumpukan rupiah yang lebih tebal ketimbang jalur reguler; di samping “kata kunci”nya tidak serumit seperti kelas reguler.

Saya tak akan “mempermasalahkan” tata cara ini. Saya hanya ingin menguraikan kerumitan yang bakal muncul kelak ketika mereka telah menyandang gelas sarjana kedokteran (Sked), sebab pendidikan kedokteran tidak selesai sampai di sini: predikat dokter-lah sebenarnya yang hendak diburu. Celakanya, dengan perubahan kurikulum menjadi KBK, yang memancung (niatnya memang bagus: memperpendek masa studi) waktu pendidikan hingga mencapai Sked (katanya) hanya 3,5 tahun, yang merekrut mahasiswa dalam ukuran jumbo (angkatan pertama saja 250-an orang), masalah besar akan meletup ketika mereka akan melalui kepaniteraan klinis; sebab di atas mereka (angkatan pertama KBK ini) masih tersisa mahasiswa program “lama” (kini semester V) yang akan lulus (mudah-mudahan) Sked pada waktu yang sama dengan KBK angkatan pertama. Artinya, pada satu saat yang tidak lama lagi (1½-2 tahun ke depan) sekitar 350-an (angka dibukatkan ke bawah) mahasiswa bergelar SKed (250 berasal dari hasil pendi- dikan sistem KBK, 100 dari pembelajaran non-KBK).

Tiga ratus lima puluhan mahasiswa akan mengantri untuk dirotasikan di puluhan Bagian Klinis di rumah sakit pendidikan. Jumlah ini belum memasukkan kakak kelas mereka yang juga masih menunggu “giliran” masuk rotasi. Sementara, kita semua tahu, kalau kapasitas rumah sakit pendidikan sekarang hanya berdaya tampung seratusan. Jika seandainya kapasitas itu dapat dibesarkan paksa hingga 150-an saja, berarti akan terstagnasi sekitar 200-an sarjana kedokteran.

Dua-tiga sejawat dengan enteng mengemukakan solusi “mudah”: kirim saja mereka ke rumah sakit lain. Tempo hari fakultas kan sudah bekerja sama dengan beberapa rumah sakit di Propinsi ini. Untungnya, sebagian besar direktur rumah sakit alumni kita. Saya (ujar sejawat itu, yang haqul yakin kalau Pimpinan Fakultas telah mengajak kerja sama RS seantero Propinsi ini), pikir tak kan ada masalah.

Jika memang demikian adanya, ya, langkah menerima “rombongan” mahasiswa baru itu sudah benar, meski tidak seluruhnya tepat. Tapi, ngomong-ngomong, rumah sakit mana saja yang telah diajak bekerja sama. Jika memang ada (saya yakin memang ada beberapa), apakah nota kesepahaman telah dibuat dan dipahami untuk kemudian segera ditandatangani. Saya men-dengar, beberapa direktur rumah sakit yang kebetulan pernah sekelas dengan saya, bahwa belum ada satu pun MOU yang rampung, dan dibubuhi tanda tangan.

Mengapa? Menurut satu-dua alumni, yang secara tidak sengaja bersua di pelataran parkir sebuah mall: “Saya pribadi tidak keberatan bekerja-sama, dan sebenarnya memang telah lama berke-inginan demikian. Tetapi saya sekarang tidak di bawah perintah Pimpinan Fakultas, melainkan Bupati. Jika kerja sama hendak dilakukan, Bupati selalu mempertanyakan manfaat apa yang bakal diperoleh Kabupaten atas kerja sama itu. Pembicaraan ke arah sana, terus terang saja, be-lum pernah dilakukan. Itulah sebabkan MOU, saya hanya mengatakan RS yang saya pimpin saja, Kabupaten atau Kotamadya lain saya tidak tahu, belum pernah tersusun, apalagi ditandata- ngani”. Itu salah satu permasalahan, bukan satu-satunya masalah, yang seharusnya dibicarakan bahkan hingga ke tingkat Senat Fakultas.

Tugas Aparat Fakultas yang pertama ialah mendata RS yang memenuhi baku kelayakan untuk dijadikan pusat pendidikan. Baku layak ini jelas termasuk sumber daya manusia (dokter spesialis untuk bagian tertentu yang akan diserahi tugas mengajar). Jika ini sudah terpenuhi, tugas kedua ialah menyelenggarakan training (perlatihan) bagi para dokter spesialis yang akan diserahi mahasiswa itu tentang, misalkan, “teknik belajar-mengajar”. Terakhir, fee (gaji) untuk mereka hendaknya dihitung dengan benar.

Ini baru sejemput persoalan. Jika tidak memperoleh jalan keluar yang sepatutnya, tak sampai 2 tahun lagi dapat dipastikan kalau jumlah kaum stagnan (koas yang terpaksa tidak ma-suk rotasi) akan membengkak. Jika memang demikian adanya, wajar saja kalau kolusi yang baunya kini telah mulai “menyengat” akan menampakkan “bangkainya” pada saat itu.

Standar
Analisis Masalah

“Salah Orang Salah tempat”

Ketika saya mengkritik kekeliruan pada Blok terdahulu (1, 3, dan 5), orang-orang merespons dengan enteng: “Kedepan kita akan perbaiki. Biasa memang, namanya saja program baru”. Tapi saya tidak melihat “perbaikan” itu pada Blok selanjutnya. Yang terjadi (setidaknya menurut pengamatan saya) malah sebaliknya: semakin jelek dan tidak karuan. Sewaktu saya mengkritik skenario blok 1, jawaban orang UPEP (termasuk PD 1), ya begitu itu. Di blok selanjutnya, yaitu blok 3 dan 5 (saya mencantumkan Blok-Blok yang saya diikutkan), setali tiga uang.

Ketika Blok 6 tengah dipersiapkan, ketika salah seorang dosen wakil suatu Bagian mengusulkan sejawatnya yang lain untuk memberikan materi kuliah pada Blok itu, karena topik bahasan bukan bidang keahliannya, saya sempat menyodorkan ide: “Jika sudah begini kejadiannya, dosen anggota Blok tidak bisa dengan mudah diganti karena sudah di”SK”kan oleh Dekan, dan karena mengubah SK butuh waktu, saya mengusulkan agar kita yang duduk sebagai anggota blok hendaknya dianggap sebagai administrator saja, jika materi kuliah ternyata bukan keahlian kita, atau bukan kuliah kita di kelas konvensional, maka materi tersebut kita berikan saja ke sejawat yang memang ahlinya, atau (seperti talah saya katakan tadi) yang menguliahkannya di kelas konvensional; terlebih bila dosen yang bersangkutan telah mempunyai materi tertulis. Dengan demikian, tidak akan terjadi salah urus dalam kuliah.

Dan semua orang yang hadir pada rapat sore itu setuju. Saya lontarkan ide ini bukan karena ada sejawat dosen yang mengeluh kalau materi dalam Blok 6 sesungguhnya di luar bidang keahliannya; melainkan karena saya tidak melihat ada waktu lain untuk mengutarakan ide itu. Kebetulan sekali, memang, ada orang UPEP (tiap Blok memang ada UPEP: jika bukan dosen, ya tutor, atau keduanya) yang kebetulan berada sebagai anggota Blok. Saya tambahkan lagi: “tetapi usul ini bukan saya tujukan bukan hanya diberlakukan pada Blok 6, tetapi juga Blok-Blok selanjutnya.” Dan IBM, anggota UPEP, berucap: “Itu gagasan yang sangat bagus. Kita sangat setuju. Saya akan diteruskan ide ini ke rapat internal UPEP”.

Suka cita saya bukan karena merasa ide saya telah dinilai bagus, akan dibicarakan secara internal, dan berharap diterima untuk kemudian diterapkan pada Blok setelah Blok 6 ini usai. Kegembiraaan saya membuncah karena niat (ide) saya agar penempatan dosen berdasarkan kompetensi bisa segera terwujud. Tetapi yang terjadi tidak demikian: pada Blok 7 ketidakkompetenan itu tercetak jelas. Saya melihat jadwal kuliah mahasiswa (saya memang tidak mempunyai akses untuk melihat pola dan jadwal kerja Blok-Blok yang saya tidak diikutkan). Dua orang sejawat Bagian saya tidak tertulis memberi materi kuliah bidang keahliannya. Terbaca “aneh sekali” bila SHP (Pakar Ilmu Gizi) memberi materi “Patogenesis of Infection”, dan “…”. Memangnya tidak ada porsi Ilmu Gizi pada Blok 7 ini (Blok 7 mengulas topik Infeksi dan immunologi)? Jika tidak ada, seperti usulan saya pada rapat Blok 6, ya tidak usah memberi kuliah (jadi tutor saja bila tidak berani mundur dari keanggotaan Blok).

Namun begitu, saya tidak sepakat jika dikatakan Ilmu Gizi tak punya peran dalam pembelajaran Blok ini. Dalan kuliah konvensiaonal ada topik kuliah Keracunan Makanan, Allergi Makanan, dan banyak lagi. Jika topik konvensional ini tak bisa disisipkan ke dalan Blok, mengapa tidak membuat kajian (tentu saja dalam bentuk tulisan) semisal “Nutritional approach to overcome infection” atau “Nutritional role as an immunomodulator”. Masih banyak lagi topik yang dapat ditalikan (atau dikaitkan) dengan ketercetusan. Saya katakan tadi keracunan makanan, lewat jalur toxicoinfection: jadi bisa diselipkan dalam Blok infeksi kan?! Tapi sebagian sejawat berusul menempatkan topik ini dalam Blok Kegawatdaruratan Medik, karena efek emergency racun yang hendak dikedepankan. Lalu bahgaimana dengan allergi makanan, yang dalam kuliah konvensional disatukan dalam topik “keracunan makanan”? Kedua sejawat tadi memang tidak memegang kuliah itu (tetapi saya tidak mengatakan mereka berdua tidak mengerti) pada kelas konvensional.

Kalau kejadiannya sudah begini, siapa yang mesti disalahkan? Saya tak pernah mempertanyakan ini kepada siapapun (karena saya telah tahu jawababnya: memang begitulah sistem KBK, topik tertentu tidak perlu lagi dikuliahkan seperti kuliah konvensional. Kita yang dosen ini bertugas memberi gambaran topik, dan mahasiswa lah sepenuhnya berkewajiban mencari bahan untuk melengkapi kuliah itu), kecuali pada diri sendiri, dan ditulis dalam Blog (bukan Blok) ini. Yang jelas, menurut saya, inilah contoh “salah orang salah tempat”.

Besok akan ada Blok 1 lagi bagi angkatan ke 2 kelas KBK. Saya belum melihat SK Dekan tentang pengangkatan dosen pengajar, tetapi saya telah memperoleh bocoran siapa yang diusulkan UPEP. Bagi saya, siapapun yang dipilih jelas berazas kompetensi. Nah, apa dasar pengangkatan dosen pada Blok 1 angkatan kedua ini? Sulit sekali menepis anggapan (atau tuduhan, barangkali) bahwa “inside trader” (mengutip istilah pasar modal) itulah yang menjadi dasar. Bahasa premannya: asal orang kita. Sekali lagi saya menyaksikan kerja (yang kata sejawat saya amat melelahkan) yang asal-asalan. Pokoknya jalan, mutu belakangan.

Standar
Analisis Masalah

UPEP

Unit Pengembangan dan Evaluasi Pendidikan, begitulah kepanjangan dari UPEP. Ia telah lahir jauh sebelum sistem KBK “dipasarkan”. Tugas UPEP di masa lalu, yang saya sedikit ketahui, ialah mengembangkan dan mengevalusi pendidikan yang tengah berjalan. Agar mengerti apa yang akan dikembangkan, personil yang ada dalam unit ini berkepentingan memantau proses pendidikan yang tengah belangsung. Target yang harus dipantau tentu saja bukan hanya pendidikan dokter umum, tetapi juga segenap Program Studi yang ternaung di bawah bendera Fakultas Kedokteran.

Bagaimana dengan tugas UPEP kini, ketika sistem pendidikan yang diterapkan berubah menjadi sistem KBK, saya belum mengetahui jelas, meskipun saya pernah duduk di kepengurusan UPEP. Namun menurut hemat saya, tugas UPEP tidak berubah, kecuali beban kerjanya menjadi lebih berat karena di efka kini tengah berjalan dua sistem perkuliahan: sistem lama dan KBK. Divisi yang menanggung pekerjaan lebih banyak tentu saja monitoring dan evalusi. Divisi ini, sekali lagi menurut saya, bukan hanya memantau dan menilai sistem KBK, tetapi juga sistem pembelajaran konvensional yang kini masih ada.

Dan lebih krusial lagi ialah kelas peralihan, yaitu kelas terakhir yang melakoni sistem perkuliahan konvensional (semester IV). Perlakuan apa yang harus diterapkan kepada mereka jika satu (atau lebih) mata kuliah tidak lulus? Lazimnya, mereka akan mengulang kuliah tersebut pada semester yang sama tahun berikut, sementara kini mereka tidak lagi memiliki “tahun berikut” itu. Rombongan KBK kini telah duduk di kursi semester III, dan tidak lama lagi akan menempati “ruang belajar” semester IV.

Tapi, sudahlah, saya bahasakan dahulu persoalan KBK ini.

Setidaknya ada dua hal pokok yang perlu dipantau dan dinilai demi keberlangsungan proses pembelajaran secara benar. Pertama materi ajar, yang betul-betul mesti dipersiapkan dengan benar. Kedua, tentu saja pemilihan dosen yang akan menguliahkan materi dimaksud. Kedua hal itu jelas mesti diserahkan kepada ahlinya. Seorang dosen (apalagi tutor) terpilih sebagai pengajar (atau penutor) hendaknya didasarkan pada kompetensi, atau keahlian, yang telah ia miliki. Keahlian itu terbaca dari ijazah, atau sertifikat. Jika sertifikat tidak dipunyai, keahlian dapat juga dinilai dari keaktifan calon dosen itu dalam bidang yang akan dia kuliahkan. Seandainya seorang akan dipilih menjadi dosen mata kuliah komunikasi, sekedar mengambil contoh, sementara brevet keahlian ilmu komunikasinya tidak ada, dia mesti membuktikan kalau dirinya meminati dan telah menggeluti ilmu komunikasi. Konkritnya, dia wajib mempunyai tulisan ilmiah yang pernah diterbitkan di media, atau jurnal, (tentu saja yang terakreditasi) keilmuan dimaksud.

Azas kompetensi ini agaknya tidak pernah dijadikan dasar pijakan dalam pemilihan sebagian dosen pemberi kuliah, tutor, pembimbing skill-lab, atau penguji soca. Saya pernah, pada satu rapat koordinasi Blok 1 angkatan pertama KBK, mengusulkan basis kompetensi ini, namun tak pernak digubris. Waktu itu, pada rapat mingguan sehabis sholat jum’at, ketika tutorial (juga pembimbing skill-lab) hendak diselenggarakan minggu depannya dan dosen yang menjadi tutor baru segera dipilih, SDK (orang UPEP) mengusulkan nama saya pada urutan pertama (dia menyebut nama saya pertama kali); namun saya cepat-cepat beraksi: “Tidak bisa demikian. Kita jangan tergesa-gesa memilih sebelum terlebih dahulu menentukan kriteria tutor”, tanggap saya.

“Kriterianya sudah ada, yaitu sudah mengikuti perlatihan tutor. Itu saja”, jawab SDK.

“Itu salah satu kriteria. Kriteria ini pun belum bisa dipedomani karena seselesai mengikuti perlatihan tidak diadakan semacam ujian apakah seseorang dapat dinyatakan lulus dan berhak menjadi tutor …”.

“Begini saja. Kalau begitu pemilihan tutor kita serahkan pada ketua Blok, bagaimana?”

“Terserah, asal jangan lupa menyusun kriteria”.

Tak berani bersu’uzon, saya merasa segala sesuatu seolah telah jernih, selesai. Dosen tutor, tak usah dikhawatirkan lagi, pasti (sang ketua Blok, YON, menyebutnya Insya Allah) terpilih yang kompeten dan bermartabat.

Idealnya begitu, tetapi faktualnya bertolak-belakang. Mereka yang terpilih, tercetak hitam putih pada lembar SK Dekan, banyak yang tidak memiliki kompetensi di bidang komunikasi. Saya masih ingat setidaknya dua nama, yang di-SK-kan Dekan sebagai pembimbing skill-lab, namun saya tahu betul mereka tidak mumpuni. Sebagai contoh, NS yang menyatakan dirinya tidak terampil menggunakan komputer (tapi terbilang in-group dengan personil UPEP), tidak mampu membuat materi presentasi dengan power point, dan kerap menghadapi banyak kendala ketika mengakses internet, terpilih sebagai salah satu dosen pembimbing skill-lab. Begitu pula ST, yang selalu tampil dengan power point bagus, yang diklaimnya sebagai buatan sendiri, dapat saya buktikan: dia mengupah orang lain untuk membuat atau mengunduh power point yang kebetulan telah siap di internet. Skill-lab pada Blok 1 berupa praktikum menggunakan komputer: mengakses internet untuk menemukan jurnal ilmiah kedokteran (membiasakan penggunaan searching engine, yang berarti perlatihan memformulasikan kata kunci), dan membuat presentasi dengan power point.

Ketika hal ini saya keluhkan pada salah satu personil UPEP, dia cuma bergumam: “Namamu kan juga dicantumkan.” Padahal yang saya maksudkan bukan apakah nama saya dicantumkan atau tidak, melainkan pemilihan berbasis kompetensi itu. Ketika saya mengeritik lebih jauh, si Pejabat UPEP menjawab begini: “Ini kan baru Blok satu. Namanya saja baru mulai, masih belajar, tetapi tidak usah khawatir ke depan pasti akan lebih baik.” Ini ucapan penghibur, penumbuh semangat, atau sekadar upaya agar saya tidak berkelanjutan mengeritik.

Saya sepakat dengan niat untuk terus memperbaiki diri, yang tersurat sebagai ‘ke depan pasti lebih baik’. Sayang sekali (mestinya dibaca: celakanya) tidak pernah terlihat tindakan untuk menerjemahkan niat itu menjadi kenyataan. Pada Blok yang pernah saya ikuti saja (sebagai tutor dan penguji soca) tidak terkelebat kegiatan yang mengarah ke jurusan yang lebih baik. Pemilihan dosen pemberi materi (kecuali mata kuliah berbasis Bagian), atau tutor, terbukti tidak berbasis kompetensi. Pilihan terkesan hanya berdasarkan hubungan pertemanan. Lihat saja dosen pengajar Blok 3 (metodologi), orang yang terpilih untuk mengajar teknik penulisan proposal terbukti tidak mampu menulis proposal dengan benar (terbaca dari proposal tesis, dan tesisnya). Belum lagi mereka yang tidak mengerti metodologi diangkat sebagai pengajar metodologi.

Saya pernah mengeluhkan itu ke UPEP, tetapi apa jawabnya? “Sejawat yang memang mempunyai brevet metodologi memang tidak ada. Tetapi bagaimanapun, mereka yang ditugasi mengajar kan telah lulus pasca sarjana. Itu berarti, bahwa mereka juga belajar metodologi, dan lulus. Lulus kan berarti menguasai”.

Saya cuma bergumam dalam hati: “Siapa bilang tidak ada dosen di sini yang memiliki brevet metodologi? Siapa bilang kalau lulus bab metodologi ketika mengambil pasca sarjana telah berarti memiliki kwalifikasi di bidang metodologi?” Jika materi yang digunakan dalam penelitian untuk pembubatan tesisnya, ya, boleh dibilang mungkin. Akan tetapi itu kan hanya salah satu bentuk metodologi dari sekian banyak metodologi penelitian. Belum lagi saya bicara tentang keterampilan menulis proposal, yang dipercayakan pada seseorang yang saya kenal betul tidak kompeten di bidang penulisan. Saya sudah membaca tesisnya: dari metodologi hingga pola penulisan proposal (tergambar dari Bab I tesis itu) sebagian besar keliru.

Saya pernah suatu kali berkata pada LEG dan YON (di tempat terpisah), dua personil yang dulu pernah menjadi mahasiswa saya, yang kebetulan duduk di jajaran monitoring dan evaluasi, yang saya anggap cukup religius, yang tutur sapanya santun, yang jidatnya tampak bundaran coklat pertanda (kata orang-orang) rajin sujud di atas sajadah (mudah-mudahan usia religiusnya melangkahi usia fisik), bahwa mereka harus menyerahkan segala pekerjaan kepada ahlinya. Jika tidak, tunggulah saat kehancuran bagi mereka. Mereka pasti telah hafal kalimat pernyataan ini, bukan rekaan saya, melainkan sabda Rasullullah.

Jika pendapat ini ditolak, UPEP ganti nama saja dengan UPEK.

Standar
Analisis Masalah

Rakus di Semester Khusus

Semester khusus ialah wujud “kecintaan” Pimpinan (boleh jadi berbentuk dosen, guru, atau sekadar PNS penyampai materi kuliah) terhadap mahasiswa. Pemberlakuan semester ini (disebut pula sebagai semester pendek, karena dijalankan hanya sekitar 4 minggu) diniatkan untuk memberi kesempatan pada peserta didik untuk mengubah nasib mereka: meningkatkan nilai satu derajat, misalkan, dari poin C ke titik B. Karena pendeknya waktu yang dialokasikan (kira-kira sepertiga waktu semester reguler), jumlah SKS yang diperbolehkan diambil hanya sepertiga SKS semester reguler. Sejauh yang saya tahu, besaran SKS yang cukup dipatok sebatas angka 6 sampai 8. Namun kenyataannya PD I menetapkan bilangan 15, seperti terbaca di papan pengumuman oleh semua orang yang berkepentingan dengan SP.

Baiklah, saya anggap penetapan angka 15 itu memang telah dihitung dan dipertimbangkan dengan bijak, bukan hanya berlandaskan desakan sebagian mahasiswa yang maunya cepat lulus dengan indeks prestasi tinggi. Maksudnya, angka 15 itu muncul dari analisis multivariat sejumlah data dengan menggunakan software anova dalam notebook yang ditanami chips dual core two; meskipun saya tidak melihat jejak kalau dia memang benar-benar telah berupaya bergerak ke arah sana.

Sayang sekali, “kebaikan” itu kemudian terbukti tercederai oleh ulah “sebagian orang”: dalam praktek, selama pendaftaran dan pembayaran SP, angka 15 yang telah menjadi ketetapan itu menggelembung hingga menyentuh bilangan 32. Bandingkan dengan besaran SKS yang biasa terambil pada semester reguler (sekali lagi, semester reguler, bukan SP): belum seorang pun mahasiswa asuh saya pernah demikian rakus meraup SKS sebanyak itu.

Alasan mengapa angka 15 kemudian dengan mudah dibengkakkan menjadi 32 tak dapat saya pastikan, namun samar-samar bisa saya simpulkan. Banyak orang berargumen: “Demi membantu mahasiswa agar cepat lulus. Mereka memohon diperbolehkan mengambil SKS lebih dari 15, dan mereka menyatakan sanggup. Saya berpendapat jika mereka telah mengatakan sanggup, berarti mereka memang sanggup. Kita sebaiknya tidak meng-underestimate mahasiswa…”

“Kalau begitu, mengapa tidak diizinkan ambil 156 SKS saja, biar semester depan sudah mengantongi gelar Sarjana Kedokteran,” tukas saya.

“Wah, tidak boleh begitu, dong …”, tanggapnya.

Sayang sekali, wujud fisik “orang” itu tak bisa dipastikan dengan mudah. Mereka yang mestinya bertanggung-jawab atas penentuan itu justru sibuk saling lempar tanggung-jawab. Dokter LLT, seorang dosen senior yang telah berusia lebih dari 60 tahun, memuntahkan kemasygulannya ketika khabar tak sedap ini saya tiupkan telinganya, sembari menunggu rapat praraker KBK dimulai. “Mahasiswa memang sering menipu,” dia berkata dengan bibir manyun, “Mereka mengambil SKS sebanyak mungkin dengan harapan siapa tahu lulus. Ini namanya kan coba-coba. Sebangsa judi lah, begitu…”. Saya tidak menanggapi, karena saya sudah tahu kalau senior saya ini tidak tahu informasi. Penggelembungan itu bukan tanpa restu Pimpinan. Saya mendengar banyak sekali katabelece (memo) beterbangan ke Bagian Pendidikan.

“Mahasiswa asuh dokter LLT ada yang ikut SP?”, saya masih saja iseng bertanya.

“Ya, jelaslah, cuma bayar 20 ribu satu SKS. Murah.”

“Berapa SKS yang mereka sodorkan, dan berapa yang dokter izinkan serta tandatangani?”

“Nah …, kalau soal itu saya tidak begitu jelas. Saya percaya saja pada mereka, sehingga tidak memeriksa …”

Saya sebetulnya ingin mengatakan justru mahasiswa asuh dokter LLT yang banyak membabi buta memborong SKS. Apa dia tidak menyadari itu? Jika dia menjawab “ya”, berarti dia bukan dosen PA yang “baik”, yaitu mereka yang menjalankan apa yang diamanahkan buku panduan tugas dan kewajiban Dosen PA (bukan Patologi Anatomi, melainkan Pembimbing Akademik); dan dia jelas tidak boleh begitu saja “cuci tangan”. Tidak boleh? Bagaimana jika dia ternyata telah mulai uzur?

Tetapi sudahlah, anggap saja angka 15 ini benar adanya. Mahasiswa yang ber-SP dengan 15 SKS berarti terbebani oleh setidaknya 6 sampai 7 mata kuliah. Satu mata kuliah terdiri paling tidak dari 10-14 bab, dan itu berarti si mahasiswa harus mengikuti paling sedikit 10-14 kali kuliah tatap muka. Itu baru satu mata kuliah (satu Bagian). Bagaimana kalau si mahasiswa betul mengambil 6-7 mata kuliah? Dan itu mesti diselesaikan dalam waktu amat singkat: 1 bulan. Dengan beban 15 SKS saja mereka mesti kerja berat, (meskipun secara fisik masih tampak santai, dan berkesempatan ber-friendster-ria di dunia maya), apalagi 32?!

Seorang pekerja administratif pada suatu pagi saya lihat mondar-mandir di depan ruang Pejabat Fakultas sembari menenteng setupuk kertas putih. Kertas itu ternyata adalah fotokopi sejumlah data mahasiswa yang mengambil SP, yang ditolak oleh Puskom lantaran kelebihan SKS-nya keterlaluan. Saya tak berani bertanya banyak kepadanya, karena takut kalau nanti dia dimarahi Pimpinan jika ketahuan terlalu intens bercaka-cakap dengan saya. Namun demikian, saya tahu beberapa hal langsung dari orang Puskom.

“Dengan SKS sebanyak itu, bagaimana nanti mutu hasil lulusan dokter kelak,” celetuknya, dan kemudian mengisahkan tetangganya di suatu desa meninggal akibat kecerobohan dokter. Dokter itu ternyata lulusan Fakultas Kedokteran ini.

“Yang meninggal itu sebetulnya masih kerabatku. Dia pada suatu hari terkena pantak ikan lele di kelopak mata. Orang tuanya membawa A ke dokter B di Puskesmas X. Dokter tidak menganggap sengatan ikan lele itu sebagai masalah. Katanya, tidak apa-apa, tenang saja, tidak usah khawatir, tidak berbahaya kok. Dan si A disuruh bawa pulang. Tetapi tiga hari kemudian anak itu buta. Saya yang bukan dokter saja tahu kalau pantak lele itu mengandung bisa, dan kebutaan itu pasti ada hubungannya dengan bisa lele.”

Saya tidak bisa menghakimi si dokter B. Namun begitu, sebagai dokter yang mengepalai Puskesmas, dia mestinya tahu jika luka di kelopak mata (jaraknya dekat sekali dengan syaraf optik yang tersembunyi di belakang bola mata) tidak boleh dianggap sepele; terlebih luka akibat sengatan (pantak) lele. Namun, bagaimanapun, saya yakin kalau semasa mahasiswa dokter ini tidak mengalami inflasi SKS hingga menyentuh angka 32. Jika suasana pendidikan belum terinflasi saja dapat menghasilkan produk seperti dokter B, bagaimana dengan produk masa depan yang pernah terkontaminasi oleh program 32?

Kalau saya sih, santai saja. Biarkan saja mahasiswa mengambil bahkan kalau mungkin 156 SKS. Dengan begitu mereka tertolong karena bisa cepat lulus. Barangkali inilah saatnya bagi Pimpinan untuk berpikir membangun sebuah fakultas kedokteran terbuka. Mirip Kejar Paket A, B, dan C di sekolah dasar dan lanjutan. Gampang, kan. Gitu aja kok repot.

Standar