Ternyata tidak mudah menjadi mahasiswa kedokteran. Meskipun memasuki gerbang dunia yang (mestinya) “putih-bersih” itu kini tidak lagi harus berdesakan lewat pintu UMPTN (ujian masuk perguruan tinggi negeri), proses pendidikan tetap saja mencemaskan dan menggemaskan. Mencemaskan karena tidak ada jaminan kalau nasib seorang mahasiswa kedokteran yang telah membayar uang pembangunan puluhan juta itu pasti berujung sebagai “dokter”: kemungkinan drop out (DO) selalu mengintai di tiap semester. Idealnya, memang, pendidikan mesti berproses demikian. Menggemaskan lantaran ada sejumlah titik pada proses itu, yang semestinya bukan pengancam, berpenampilan bagai “hantu”; dan peserta didik nyaris tidak kuasa mereduksinya, sementara para penguasa institusi hampir tidak bertindak untuk menghapusnya.
Tersebutlah kisah pada satu fakultas kedokteran: sejak dua tahun belakangan FK ini menerima mahasiswa baru lewat dua pintu masuk, yang dikenal sebagai jalur reguler dan nonreguler. Saya tak paham betul makna etimologi kedua kata itu. Yang saya ketahui ialah, bah-wa pintu masuk ke kelas nonreguler telah dibuka lebar ketika jadwal penerimaan UMPTN belum diiklankan di media. Namun demikian, namanya saja nonreguler, tiket masuk lewat pintu ini tentu saja mesti ditebus dengan tumpukan rupiah yang lebih tebal ketimbang jalur reguler; di samping “kata kunci”nya tidak serumit seperti kelas reguler.
Saya tak akan “mempermasalahkan” tata cara ini. Saya hanya ingin menguraikan kerumitan yang bakal muncul kelak ketika mereka telah menyandang gelas sarjana kedokteran (Sked), sebab pendidikan kedokteran tidak selesai sampai di sini: predikat dokter-lah sebenarnya yang hendak diburu. Celakanya, dengan perubahan kurikulum menjadi KBK, yang memancung (niatnya memang bagus: memperpendek masa studi) waktu pendidikan hingga mencapai Sked (katanya) hanya 3,5 tahun, yang merekrut mahasiswa dalam ukuran jumbo (angkatan pertama saja 250-an orang), masalah besar akan meletup ketika mereka akan melalui kepaniteraan klinis; sebab di atas mereka (angkatan pertama KBK ini) masih tersisa mahasiswa program “lama” (kini semester V) yang akan lulus (mudah-mudahan) Sked pada waktu yang sama dengan KBK angkatan pertama. Artinya, pada satu saat yang tidak lama lagi (1½-2 tahun ke depan) sekitar 350-an (angka dibukatkan ke bawah) mahasiswa bergelar SKed (250 berasal dari hasil pendi- dikan sistem KBK, 100 dari pembelajaran non-KBK).
Tiga ratus lima puluhan mahasiswa akan mengantri untuk dirotasikan di puluhan Bagian Klinis di rumah sakit pendidikan. Jumlah ini belum memasukkan kakak kelas mereka yang juga masih menunggu “giliran” masuk rotasi. Sementara, kita semua tahu, kalau kapasitas rumah sakit pendidikan sekarang hanya berdaya tampung seratusan. Jika seandainya kapasitas itu dapat dibesarkan paksa hingga 150-an saja, berarti akan terstagnasi sekitar 200-an sarjana kedokteran.
Dua-tiga sejawat dengan enteng mengemukakan solusi “mudah”: kirim saja mereka ke rumah sakit lain. Tempo hari fakultas kan sudah bekerja sama dengan beberapa rumah sakit di Propinsi ini. Untungnya, sebagian besar direktur rumah sakit alumni kita. Saya (ujar sejawat itu, yang haqul yakin kalau Pimpinan Fakultas telah mengajak kerja sama RS seantero Propinsi ini), pikir tak kan ada masalah.
Jika memang demikian adanya, ya, langkah menerima “rombongan” mahasiswa baru itu sudah benar, meski tidak seluruhnya tepat. Tapi, ngomong-ngomong, rumah sakit mana saja yang telah diajak bekerja sama. Jika memang ada (saya yakin memang ada beberapa), apakah nota kesepahaman telah dibuat dan dipahami untuk kemudian segera ditandatangani. Saya men-dengar, beberapa direktur rumah sakit yang kebetulan pernah sekelas dengan saya, bahwa belum ada satu pun MOU yang rampung, dan dibubuhi tanda tangan.
Mengapa? Menurut satu-dua alumni, yang secara tidak sengaja bersua di pelataran parkir sebuah mall: “Saya pribadi tidak keberatan bekerja-sama, dan sebenarnya memang telah lama berke-inginan demikian. Tetapi saya sekarang tidak di bawah perintah Pimpinan Fakultas, melainkan Bupati. Jika kerja sama hendak dilakukan, Bupati selalu mempertanyakan manfaat apa yang bakal diperoleh Kabupaten atas kerja sama itu. Pembicaraan ke arah sana, terus terang saja, be-lum pernah dilakukan. Itulah sebabkan MOU, saya hanya mengatakan RS yang saya pimpin saja, Kabupaten atau Kotamadya lain saya tidak tahu, belum pernah tersusun, apalagi ditandata- ngani”. Itu salah satu permasalahan, bukan satu-satunya masalah, yang seharusnya dibicarakan bahkan hingga ke tingkat Senat Fakultas.
Tugas Aparat Fakultas yang pertama ialah mendata RS yang memenuhi baku kelayakan untuk dijadikan pusat pendidikan. Baku layak ini jelas termasuk sumber daya manusia (dokter spesialis untuk bagian tertentu yang akan diserahi tugas mengajar). Jika ini sudah terpenuhi, tugas kedua ialah menyelenggarakan training (perlatihan) bagi para dokter spesialis yang akan diserahi mahasiswa itu tentang, misalkan, “teknik belajar-mengajar”. Terakhir, fee (gaji) untuk mereka hendaknya dihitung dengan benar.
Ini baru sejemput persoalan. Jika tidak memperoleh jalan keluar yang sepatutnya, tak sampai 2 tahun lagi dapat dipastikan kalau jumlah kaum stagnan (koas yang terpaksa tidak ma-suk rotasi) akan membengkak. Jika memang demikian adanya, wajar saja kalau kolusi yang baunya kini telah mulai “menyengat” akan menampakkan “bangkainya” pada saat itu.