Kesaksian

Khianat di Hari Jum’at

Soal kuliah dokter ARS tidak muncul pada ujian mcq Blok 6, dan dia juga tidak hadir sebagai dosen pengawas pada hari senin itu. Sebagian mahasiswa, utamanya mereka yang telah membaca tuntas bahan kuliah ARS (membeli bagi yang jujur, atau mengkopi bagi yang berbakat menjadi penipu) bertanya-tanya mengapa tidak satu soal pun dimunculkan dari mata kuliah “Pemeriksaan status gizi” dan “Penentuan kebutuhan energi”? Ini tidak lazim, dan menurut saya aneh, sebab setiap dosen yang memberi kuliah mestinya sekaligus menjadi pembuat soal. Menurut mahasiswa peserta didik sistem KBK pun begitu. Beberapa mahasiswa bertanya kepada saya mengapa, tetapi saya juga tidak mempunyai jawaban. Namun demikian, saya sebenarnya telah mendengar issu bahwa ARS terlambat memberikan materi soal. Ketika pada hari jumat, sebelum hari senin itu, ARS menyerahkan soal kepada dokter Yuwono, MBiomed (personil UPEP divisi monitoring dan evaluasi), soal ujian tulis mcq ternyata sudah dicetak; dan ARS berang karena soalnya tidak mendapat tempat.

Keherananan saya mengental karena ARS, sejauh yang saya kenal, tidak pernah berlaku sezolim itu. Meski pernah beberapa kali tidak tepat waktu, mengumpulkan naskah soal melebihi tenggat, dia belum pernah berperilaku tidak bertanggung-jawab seperti yang diisukan itu. Berikut pengakuan ARS, yang saya publikasikan persis (tidak dilebihkan, tidak juga dikurangi) seperti apa yang dia tulis.

oOo

“Meskipun tidak secepat orang lain, tetapi aku tidak terlambat…,” kata ARS sebelum sempat saya menjelaskan. Agaknya dia telah mendengar banyak tentang issu itu. “Pagi jum’at aku bertemu Y, sekretaris blok 6. Jum’at pagi itu kan ada skill-lab tentang pemeriksaan status gizi di Inderalaya. Mengapa aku sampai nekad nyetir sendiri ke Inderalaya, sementara ke Bukit Besar aku tak mau hadir, karena meski aku tak setuju dengan pemberlakuan skill-lab … ah nanti saja aku jelaskan… Aku tanya Y apakah dokter Dimyati (selanjutnya ditulis D)  membuat soal. D yang memberi kuliah berbahasa Inggeris di Bukit Besar. Y bilang tidak. Aku tanya lagi, apakah D masih akan membuat soal, atau memang tidak sama sekali. Kata Y tidak, D sudah memastikan tidak akan membuat soal. Lho, aku agak terperangah. Kenapa begitu?, tanyaku. Kata Y, memang begitu, karena yang membuat materi kuliah kan aku. Awalnya memang demikian, aku membuat bahan kuliah, dan D hanya menyampaikan. Tapi di hari berikutnya aku tak mau menyerahkan naskah berikut power point kuliahku. Bukan apa-apa, aku khawatir D nanti menyerahkan semua bahan ke UPEP dan ke mahasiswa. Bahanku kan paling lengkap. Bukan arogan, aku selalu memperbarui bahan setiap semester. Kau tahu itu. Nah, jika seluruh bahan sudah di tangan UPEP, apa tidak mungkin akan dijual kepada mahasiswa pada kuliah angkatan berikutnya. Sebagian mereka kan gila duit. Sebetulnya kita juga butuh duit, ya. Aku amat butuh duit sekarang, tetapi aku tidak mau memperoleh duit dengan cara demikian… Ah, menyimpang, aku sudah sampai di mana tadi?…”

“Kau ketemu Y, dan D dipastikan tidak membuat soal”.

“Ya, D tidak membuat soal. Oleh sebab itu Y mendesak aku agar segera menyerahkan soal. Aku bilang soal berbahasa Indonesia sudah kelar, tetapi belum aku Inggeriskan. Kalau begitu segera Inggeriskan, kata Y. Aku tanya lagi, kapan trakhir, maksudku kapan dealine pengumpulan soal. Sore ini, jawab Y. Oke sore ini aku kumpulkan, tapi ke siapa? Ke UPEP, jawab Y. Oke sehabis skill-lab aku …eh, nanti dulu, sehabis sholat jum’at saja, aku ke UPEP. Aku nyetir sendiri. Jadi, aku akan tiba di Palembang sekitar pukul dua…”

“Kau ketemu Y pukul berapa?” saya tak sabar mendengar kisah pertemuannya, sehingga berujung sebagai pertengkaran, untuk tidak sampai beradu fisik, dan berbuah sebagai issu tentang sifat jelek ARS yang mau menang sendiri.

“Begini. Setiba di FK aku tidak segera menemui Y karena dia kulihat tengah membimbing residen Penyakit Dalam. Aku baru menemuinya ketika aku sadar jam dinding di ruang tamu yang ada satpam-nya telah menunjukkan angka tiga lebih. Aku ke Y, memotong pembicaraannya dengan residen itu, dan berkata: ‘Y, ini soalku, ada dua puluh butir’. Si Y langsung merespons: ‘Pindahkan saja ke laptop saya,’ katanya. Nyetaknya kapan, tanyaku. ‘Soal sebenarnya sudah dicetak, sebab aku khawatir ujian senin besaok belum siap…,’ kata si Y, ‘tapi kando (maksudnya kakanda, karena aku) pindahkan saja ke laptopku, nanti aku sortir mana yang patut dimasukkkan….”. Kata ‘sortir’ menyentakkan kesadaran ku kalau tidak lama lagi bakal terjadi keributan. Terus terang saja, aku telah berprasangka jelek terhadap YON. Menurutku dia itu arogan, meski kesantunan ala “Jawa” nya dicoba untuk ditampilkan. Kau ingat skenario yang dia buat untuk untuk ujian soca blok 5? …”

“Yang mana, ya?” saya menyela, karena memang tidak ingat.

“Itu, tentang diabetes…., tapi nanti saja kita bahas. Biar kuhabiskan dulu cerita yang satu ini… Tadi aku katakan, bahwa kata ‘sortir’ telah memantik … o, ya, tadi aku katakan kalau di Y telah menyatakan bahwa soal telah dicetak. Nah aku kemudian bertanya lagi, apakah seluruh soal telah dicetak? Jawab si Y: ‘Belum seluruhnya, tetapi seratus soal pertama telah selesai dicetak. Sekarang sedang mencetak seratus soal kedua…’. Lha, Y tidak segera merespons, maka aku segera ke ruang tempat soal diperbanyak. Di ruangan itu hanya ada tiga pegawai tata usaha UPEP, dua perempuan dan satu lelaki. Tidak ada dosen. Waktu itu aku mulai berpikir kalau persiapan pengerjaan perbanyakan soal ini tidak dilaksanakan dengan serius. Kau bayangkan saja, ke ruangan itu semua orang bisa keluar masuk. Apa tidak mungkin terjadi manipulasi? Maksudku apa tidak mungkin soal-soal itu, sebagian atau seluruhnya, diselundupkan ke sebagian mahasiswa? Jadi beginilah kerja orang-orang UPEP itu? Nah, di ruangan itu, pada hari itu memang aku lihat Dyo tengah menjalankan mesih, sementara dua perempuan itu menyusun lembran soal yang telah jadi. Aku mengambil satu eksemplar, satu paket, seratus soal yang kedua seperti yng diucapkan Y. Semuanya sudah sampai pada nomor 91. Aku minta izin, dengan setengah memaksa tentu saja, untuk membawa ke 91 soal itu ke Y. Nah Y, ucapku setiba kembali di ruangan UPEP, bagaimana ini, soal yang tercetak sudah sampai nomor 91. Soalku ada 20. Bagaimana kalau nomor 81 hingga nomor 91 dibuang saja dan diganti dengan 20 soal dari bab yang aku kuliahkan? ‘Ya, kando pindahkan saja ke laptop saya, nanti akan saya pilih mana yang layak, dan akan diacak …’. Diacak? Aku menyela, jadi ke sembilan puluh satu soal yang telah tercetak ini akan dibatalkan dan kita bikin yang baru lagi…’Oh, ndak bisa begitu. Kita sudah kehabisan waktu, mana mungkinlah membuang …’. Jadi punyaku tak bisa masuk dong, selaku. ‘Ya, apa boleh buat …’, timpalnya.

Orang ini bagaimana sih, pikirku. Tadi dia meminta aku memindahkan soal ke laptopnya. Mau disortir, untuk kemudian diacak. Sampai di sini kau mengerti cerita ku?…

“Ya, saya mengerti sekali”.

“Sesungguhnya aku sudah mulai marah, namun tetap berusaha untuk mendinginkan hati. Aku meminta dia bagimanalah caranya agar kedua-puluh soal ini bisa diikutkan dalam ujian senin besok. Tapi Y menjawab, ‘pindahkan saja soal kando ke laptop saya’ begitu saja. Aku jadi kesal, dan merespons: ‘apakah kau jamin keduapuluh soal ini bisa diikutkan?’ Bukan apa-apa, aku memberi kuliah dua bab. Berdasarkan kesepakatan rapat blok 6, tiap satu bab harus membuat soal sepuluh. Kalau dua bab kan jadinya dua puluh. Di samping itu, memang sudah menjadi kelaziman, bahwa pemberi kuliah adalah orang yang juga membuat soal. …’Ya, makanya saya minta tolong soal kando itu dipindahkan saja ke lapto saya. Nanti akan saya seleksi. Kan masih kurang 9 soal untuk mencapai seratus.’ Kedengarannya sopan, kan?! Dia, di Y itu minta tolong. Tapi aku tidak bisa terima kalau soalku yang dua puluh itu cuma diambil sembilan. Maka aku berusaha menghubungi dokter Hasrul Han (selanjutnya ditulis H), ketua blok 6. Di telepon dia menjawab kalau dirinya tengah menemani istri, dan akan segera tiba di FK dalam sepuluh menit.”

“Aku menunggu sampai sepuluh menit yang dijanjikan itu habis. Lalu, aku menelpon lagi. O, ya, aku menelpon tidak dari Hp-ku, tapi dengan telpon yang ada di depan kamar Dekan. Aku gunakan telpon kantor bukan sekadar menghemat pulsa, tetapi juga menghindari dari Y. Sumpah, aku sudah gatal hendak meninju kepala besarnya itu. … Nah, selanjutnya, sembari menunggu H, aku kembali ke ruangan UPEP. Di sana aku tidak lagi melihat lembar-lembar soal yang berjumlah 91 nomor yang aku ambil tadi. Aku tanya Y kemana perginya soal itu? ‘Sudah saya amankan,’ katanya, ‘menghindari kebocoran.’ Bagaimana perasaanmu sendainya aku adalah kamu pada waktu itu? Terus terang aku amat sangat tersinggung. Ketergesaan Y mengamankan soal terkesan berlatar-belakang curiga jangan-jangan aku bakal membocorkan soal. Dari bahasa tubuhnya aku memastikan kalau Y memang berpikiran sama persis seperti dugaanku. Soal curiga, ya, sah-sah saja, terlebih bila ditinjau dari tanggung-jawabnya sebagai koordinator monitoring dan evaluasi; tetapi mengapa hanya lembar soal yang kupinjam itu saja yang harus diamankan sementara setumpuk soal yang sedang digandakan di ruang stensil tidak dijaga? Apa itu tidak berarti ada sesuatu di dalam hati mereka terhadap diri saya?…”.

[Ketika aku tanyakan mengapa tidak ada dosen atau personil di ruang penggandaan soal, –waktu itu juga hadir Sadakata Sinulingga, juga personil UPEP– Y cuma terkekeh sambil terus menekuni pekerjaannya, bukan kaget dan segera berlari ke ruangan itu].

“Sebentar,” saya menyela ARS, dan memesan gado-gado. Saya merasa lapar, sementara masalah yang hendak dituturkan ARS sepertinya masih akan panjang. Dia memang tidak pernah berubah sejak dahulu, semasih menjadi mahasiswa (bahkan SMA).

“Tidak berapa lama kemudian H tiba juga…,” lanjut AS sambil mengunyah gado-gado, “Aku segera mengutarakan inti permasalahan itu, dan dia lalu berkata pada Y, ‘Gimana Y, apa soal AS ini bisa diakomodir. Jawab Y sama seperti kalimat yang ia lontarkan kepada ku: ‘Saya tadi sudah bilang sama kando AS ini, pindahkan saja soalnya ke laptop saya. Nanti akan saya sortir.’ Tapi aku segera menampik. Kubilang, soal memindahkan itu mudah. Yang menjadi sandunganku tadi ialah kau tidak bisa memutuskan apakah kedua-puluh soal itu bisa dimasukkan. Nah sekarang sudah ada ketua Blok. Bagaimana pak ketua? Waktu itu H tidak segera memberikan respons. Maka aku ajak dia ke ruang penggandaan, sembari mengatakan kalau soal yang telah diperbanyak telah mencapai nomor 91. Aku kembali mengulangi keinginanku yang tadi telah disampaikan pada Y, bahwa kedua-puluh soalku harus masuk. Tetapi jawaban yang disampaikan H sungguh tidak masuk akal. Katanya: ‘Kalau begitu soalmu ambil 9 saja. Klop kan jumlahnya, jadi 100. ‘Aku tentu saja makin kesal, tetapi aku menjawab: jangan begitu dong pak. Aku kan memberi kuliah 2 bab, bahwa satu bab membuat soal 10, jadi soalku kan 20. ‘Ya, bgaimana lagi, kamu kan sudah lihat kalau soal yang tercetak sudah 91, artinya cuma ada lowongan 9. Jadi kamu buat saja 9 soal. Gampang, kan?!’ Aku marah sekali. Tapi aku masih berusaha membujuk. Oi, uda, janganlahh begitu, jangan semena-mena. Tolong, aku ini mengajar dua bab, jadi harus memberi soal dua puluh. Kalau cuma sembilan, ya, tidak optimal. Aku membujuk H . Aku membujuk H berkali-kali, namun sayang sekali, dia tidak bergeming (Y tidak mengikuti kami, dia sepertinya memilih menyibukkan diri di ruang UPEP membimbing residen peserta didik Ilmu Penyakit Dalam). Dia malah menjawab: ‘Saya rasa soal dari kamu cukup 9 saja. Sudahlah, mengapa mesti repot-repot. Ada atau tidak soal dari kamu tidak penting bagi mahasiswa. Pokoknya jumlah soal 200, begitu saja’. Jawabku: ‘Jika cuma 9, maaf saja, lebih baik aku tidak menyerahkan soal’”.

“Tahu apa jawab di H? Katanya dengan santai: ‘Tidak apa-apa. Dosen yang mengajar tidak harus membuat soal. Begitulah sistem KBK’. Bajingan. Apa betul yang dia katakan itu? Jika betul, berarti sistem ini tidak benar. Kalau aku tidak membuat soal, lantas siapa yang bikin soal untuk Bab yang aku kuliahkan? Si Y, atau H?… Okelah, anggap saja sistem begini ini benar. Aku kepingin tahu bagaimana orang-orang pintar di UPEP ini membuat soal berbasis bahan kuliahku. Personil UPEP yang berasal dari Bagianku kan Cuma SP. Dia tidak punya punya bahan tertulis seperti yang aku miliki sekarang.
Paling tidak, SP tak akan mampu menyiapkan materi kuliah itu dalam waktu singkat (cuma sekian jam), di samping dia juga tidak tahu materi apa saja yang saya suarakan di kelas.

Standar

12 respons untuk ‘Khianat di Hari Jum’at

  1. Arismonyet berkata:

    Mau benar sendiri kan? ARS sama sekali tidak menyinggung bahwa di dalam sebuah blok, perlu kerjasama tim (dalam bentuk mengumpul soal sesegera mungkin). ARS menyerahkan soal ketika sudah melewati “date line”. Seluruh blok akan kacau jika menunggu “gendang” dimainkan ARS, yg memang hobby berlambat-lambat.
    ARS bilang “UPEP” gila duit, sementara ARS adalah satu-satunya dosen yang menjual setengah memaksa bahan kuliahnya kepada mahasiswa. Jadi, siapa yg mata duitan . He…..? Y dan semua orang juga sdh gatal untuk meninju kepala anda yang sudah trauma kapitis 3X itu. Biar jadi agar2 sekalian. Kalau Kabag Gizi mengusulkan Anda utk jadi anggota Blok, sebaiknya anda menolak saja. Demi kebaikan bersama…

    • rizkiadi berkata:

      Orang (sekelompok) ini sekarang mulai terjangkit penyakit degenerative. Satu pensiun, dan dengan “sombong” minta diaktifkan kembali (dikontrak) dengan alasan :masih dibutuhkan mahasiswa (tidak sedikit orang mengernyitkan jidat bagaimana kesimpulan ganjil ini dibuat). Yang lain “tiba-tiba” (tanpa sebab yang jelas) mensti menjalani cuci darah secara rutin. Sisanya lebih parah lagi, karena tidak bersedia mengumumkan diri sebagai kelompok yang menamakan diri arismonyet (dan sejenisnya) mulai kehilangan pahala: tersedot oleh orang yang dia fitnah. Bersyukurlah kamu ars atas fitnah yang ditimpakan ke kamu.

    • rizkiadi berkata:

      Sampai hari ini saya tetap menunggu kalian yang bersumpah ingin memecahkan kepala saya. Ayo, jadilah jantan (bukan sekadar pejantan).

  2. TeHaPe^_^ berkata:

    sepertinya ArisMonyet adalah fans berat Anda.
    hati-hati, fans berat biasanya memiliki gangguan kejiwaan dan punya obsesi yang aneh…
    hiiiiy……!!!

  3. erwina berkata:

    sebetulnya apa yg ditulis adalah suara hati dan isifikiran ybs, jadi mau ditanggapi atau tidak gpp, yg pasti gak mungkin orang gila boleh ngajar..hehehe betul kan ??? kecuali yang mengizinkan lebih gila lagi dari yang ngajar kalo keadaannya bgtu klop lah.
    teruslah menulis.. tidak ada orang atau siapapun yg boleh mengekang isis fikiran orang lain..
    paling tidak masih ada orang yg memupunyai sudut pandang berbeda dalam melihat dan menyelesaikan suatu masalah..oke?

  4. ruslan berkata:

    Penonton Berkata

    untuk ArisMoyet; Penonton bertanya Mana Argumenmu?, terbaca hanya emosi melulu, hati gatal jangan meninju, penoton tanya versi you gimana ? yang Ego itu kamu apa ARS. asumsi penonton sampai saat ini Skenario ARS dianggap benar, Tapi Aris Moyet kian dibaca komentarnya kian kelihatan bahwa ia memang moyet betulan

  5. Funny Junkies dan Punky berkata:

    Barang Busuk pasti tercium busuk, Barang harum tidak akan menjadi Busuk, Kang ARS katakan yang benar itu benar dan yang salah adalah salah walaupun rasanya pahit sebab yang pahit biasanya adalah obat yang dapat menyembuhkan, insya Allah kebenaran akan tetap menang walaupun tidak sekarang.Kang ARS adalah seorang intelektual sejati yang tidak rela hasil jerih payahnya di BAJAK oleh institusi/oknum atas nama pendidikan
    Bagaimana kami yang dari luar FK dapat mempercayai almamater nya bila kondisi didalam keropok dengan segala arogansinya

  6. Borokokok berkata:

    Untuk Arismonyet, anda ini sepertinya tentara bayaran dari efka ya….. ngomong dak pake data asal mangap bae! jangan-jangan anda orang yang paling menikmati kondisi seperti ini? yang berusaha melakukan pembunuhan karakter orang seperti ARS (sqabar saja Oom ARS ya…), kalu nak kayo ARS tu lah dari dulu jualan Diktat, tapi dak dio lakuke hal macem itu. Wajar kalu dio sudah mencurahkan segenap daya upaya nyo untuk membantu mhs ( yang bener…) dalam menuntut ilmu. Bagi adik-adik mhs yang tergolong kurang / tidak mampu beli lebih baik secara gentel minta tolong dikopike oleh penulis aslinyo, ku raso ARS akan dengan seneng hati ngenjukkennyo, tapi inget barang yang sudah dicetak oleh penerbit hak edarnyo sudah ado ditangan penerbit…. Lain dengan dosen (jadi2an….) yang cuma pacak jual diktat bae tapi dak mampu nulis buku secara benar.
    Untuk ARS Jangan takut mati,karena kematian itu ada ditanganNya, Jangan takut Maju karena maju itu ada dilangkah anda, dan jangan berhenti menulsi karena itu ada ditangan dan diotak anda.
    BRAVO efka UNSRI

  7. just me amore berkata:

    dokter arisman bener
    masa’ nilai2 anak 2007 hilang di upep
    tugas2 hilang di upep
    upep dengan santai bilang..
    wah..
    ga tau ya,ga ada yg kasih ke qta,iya kan pak?bu?
    coba tanya temanx suruh kumpul lagi maksimal hari …
    ITU SAMA ARTINYA SURUH BUAT LAGI!
    kalau dokter yuwono mah kan bisa di tambah ja,soal mcq angkatan 2008 selalu lebih dari 100
    dr HHH juga dong,kalau dah buat peraturan setiap dosen yg ngajar buat maksimal 10soal setiap ajaranx,jadi kasih space soal untuk dosen.kalau mang mau di kurangi, jangan di kurangi sebanyak itu donk dok.
    wass

Tinggalkan Balasan ke ruslan Batalkan balasan